Menanti Sukses
Ada seorang pemuda yang pergi ke pantai setiap hari dan duduk di tepi dermaga sambil memandangi lautan. Suatu hari, seorang pria tua menghampirinya dan bertanya, "Kau sedang lihat apa?"
"Lihat perahu di sana?" jawab pemuda itu, "Saya menunggu perahu itu mendekat."
"Apa yang istimewa dari perahu itu?" si pria tua bertanya lagi.
"Memang Bapak tak bisa lihat sebutannya?" tanya si p
emuda. Pria tua itu memicingkan matanya dan menggeleng. "Tidak, aku tak bisa membacanya."
"Namanya Sukses."
Si pria tua itu memutar bola matanya. "Jadi, maksudmu kau datang ke sini setiap hari untuk menunggu sukses menghampirimu?"
"Benar," ujar si pemuda dengan pandangan menerawang.
"Kau itu cuma bermimpi! Kau harus berusaha menjemput Sukses, bukan malah menunggunya mendatangimu!"
Si pemuda hanya mengangkat bahu dan menggerutu sendirian, sementara si pria tua melangkah pergi.
Esok paginya, kedua orang itu bertemu lagi di dermaga. Si pria tua itu mengganti pakaiannya dengan baju renang. Lalu ketika bersiap-siap melompat ke dalam air, si pemuda menarik lengannya. "Mau apa Bapak?" tanya pemuda itu.
"Aku mau menjemput Sukses. Mau ikut juga?"
"Bapak gila, ya, nanti bisa tenggelam!"
"Lebih baik tenggelam di saat berjuang mencapai Sukses, daripada cuma duduk di pantai menanti sia-sia sukses itu datang padaku!" Sesaat berikutnya, si pria tua langsung menceburkan diri ke dalam danau.
Analogi di atas menggambarkan betapa banyak di antara kita lebih memilih untuk menunggu sukses atau peluang sukses daripada memberanikan diri untuk bertindak nyata. Karena sering kali take action identik dengan risiko. Bagaimana kalau kita "tenggelam" (baca: gagal)? Begitulah pemikiran kita. Tapi bukankah take action jauh lebih baik daripada sekadar duduk diam menunggu sukses itu menghampiri kita? Meski akhirnya kita belum berhasil meraih cita-cita, setidaknya kita sudah berusaha dan tentu kita akan mendapat suatu pelajaran penting dari situ untuk bekal kita di langkah berikutnya.
Nah kalau begitu, yang manakah kita, si pemuda atau si orang tua?
"Namanya Sukses."
Si pria tua itu memutar bola matanya. "Jadi, maksudmu kau datang ke sini setiap hari untuk menunggu sukses menghampirimu?"
"Benar," ujar si pemuda dengan pandangan menerawang.
"Kau itu cuma bermimpi! Kau harus berusaha menjemput Sukses, bukan malah menunggunya mendatangimu!"
Si pemuda hanya mengangkat bahu dan menggerutu sendirian, sementara si pria tua melangkah pergi.
Esok paginya, kedua orang itu bertemu lagi di dermaga. Si pria tua itu mengganti pakaiannya dengan baju renang. Lalu ketika bersiap-siap melompat ke dalam air, si pemuda menarik lengannya. "Mau apa Bapak?" tanya pemuda itu.
"Aku mau menjemput Sukses. Mau ikut juga?"
"Bapak gila, ya, nanti bisa tenggelam!"
"Lebih baik tenggelam di saat berjuang mencapai Sukses, daripada cuma duduk di pantai menanti sia-sia sukses itu datang padaku!" Sesaat berikutnya, si pria tua langsung menceburkan diri ke dalam danau.
Analogi di atas menggambarkan betapa banyak di antara kita lebih memilih untuk menunggu sukses atau peluang sukses daripada memberanikan diri untuk bertindak nyata. Karena sering kali take action identik dengan risiko. Bagaimana kalau kita "tenggelam" (baca: gagal)? Begitulah pemikiran kita. Tapi bukankah take action jauh lebih baik daripada sekadar duduk diam menunggu sukses itu menghampiri kita? Meski akhirnya kita belum berhasil meraih cita-cita, setidaknya kita sudah berusaha dan tentu kita akan mendapat suatu pelajaran penting dari situ untuk bekal kita di langkah berikutnya.
Nah kalau begitu, yang manakah kita, si pemuda atau si orang tua?
0 comments:
Post a Comment